Ibnu menambahkan, saat penyusunan (kurikulum), pihaknya berkolaborasi dengan dosen-dosen kampus, akademisi, dan pelaku industri juga untuk mensinkronisasi dua belah pihak.
“Kemnaker dan Kemenkominfo juga mengirimkan tim untuk membantu dan menuntun kami sampai selesai walaupun prosesnya panjang,” ungkap Ibnu.
Kurikulum tersebut ditargetkan rampung setidaknya satu hingga dua tahun ke depan. AGI berharap kurikulum game dapat mempersiapkan talenta-talenta lokal untuk dapat memenuhi kebutuhan industri gim.
“Kami berharap, nantinya instansi pendidikan, atau istansi-istansi lainnya, yang mendukung pengembangan talenta, itu juga bisa menormalisasikan, membangun talenta, untuk menjadi game developer,” Ibnu menuturkan.
Nilai Pasar Game Terus Tumbuh
Untuk diketahui, industri game merupakan salah satu subsektor ekonomi kreatif yang memiliki potensi perkembangan luar biasa.
Lembaga riset IBISWorld pada tahun 2020, mencatat ketika wabah COVID-19 merebak, pengeluaran masyarakat global untuk game mencapai USD 205 miliar atau sekitar Rp 3,4 kuadriliun.
Nilai pasar game global tumbuh 12,9 persen menjadi USD 281,77 miliar (sekitar Rp 4,6 kuadriliun) pada 2023 dan diprediksi untuk terus meningkat hingga USD 665,77 miliar (sekitar Rp 10,88 kuadriliun) pada 2030.
Berdasarkan data “Outlook Pariwisata & Ekonomi Kreatif 2021/2022” terbitan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), subsektor aplikasi dan game menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp 31,25 triliun pada 2021.
Aplikasi dan game menjadi subsektor dengan laju pertumbuhan tertinggi kedua (sebesar 9,17 persen), setelah subsektor televisi dan radio (9,48 persen).